-->

‘Kartu Jokowi’, Prorakyat atau Modus Incar Suara?


Seperti halnya pada Pilgub DKI 2012 dan Pilpres 2014 lalu, calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi) tampaknya belum mau menanggalkan kegemarannya berjualan “Kartu Sakti” sebagai jurus kampanye pada Pilpres 2019. Padahal, selama empat tahun pemerintahan Jokowi, tercatat sudah ada 5 kartu yang ia keluarkan.

Beberapa di antaranya adalah Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Beras Sejahtera (Rastra), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).  Jika ada persamaan dari “kartu-kartu sakti” Jokowi, itu adalah waktunya: semuanya diperkenalkan menjelang pemilihan umum.
Ketika menjadi Walikota Solo, Jokowi juga rupanya punya program kartu andalan, yaitu Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Solo (Kartu PKMS) dan Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Solo (Kartu BPMKS). Hampir mirip dengan program Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar(KJP) saat dirinya menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Kini, dalam Pilpres 2019, hal serupa ia ulangi. Dalam Pidato Kebangsaan di Sentul, Jawa Barat, Ahad (24/2/2019) lalu, Sang Petahana menjanjikan kartu baru jika terpilih lagi sebagai presiden: Kartu Sembako Murah, Kartu Indonesia Pintar-Kuliah, dan Kartu Pra-Kerja. Jika digabungkan dengan kartu baru, totalnya ada 8 kartu.
“Semua hal tersebut tidaklah cukup. Saya ingin melakukan lebih banyak lagi untuk kesejahteraan rakyat,” kata Jokowi di hadapan para pendukungnya.
Tak ayal, oposisi menganggap program kartu Jokowi bermuatan politis dan tak semata melayani masyarakat. “Yang lama saja banyak gagal kok. Ngapain janji-janji lagi yang baru? Ini jurus mabok karena elektabilitasnya (Jokowi) sudah mangkrak,” kata Wakil Ketua Gerindra Fadli Zon.
Forum Indonesia untuk Transparansi Aggaran (Fitra) dan Indonesia Corruption Watch(ICW), melalui hasil surveinya, menilai kartu-kartu Jokowi kurang efisien. Seharusnya, menurut Fitra, jika memang tujuan dari semua kartu itu adalah demi menanggulangi kemiskinan, maka cukup direalisasikan dengan satu kartu perlindungan sosial. Sementara ICW, menemukan implementasi program kartu yang sudah ada bermasalah dalam hal akurasi data, distribusi kartu, dan pencairan dana.
Tidak Efisien
Lepas dari polemik, seharusnya Jokowi melakukan kajian mendalam terlebih dahulu sebelum mengumumkan program kartu baru sehingga tidak membebani APBN, juga tidak mengulang kesalahan seperti program BPJS yang defisit. Sebuah kebijakan publik seharusnya didesain dengan memperhatikan stabilitas ekonomi dan benar-benar menyasar pokok persoalan. Bukan semata-mata pertimbangan politis atau demi kepentingan elektabilitas yang terkesan pragmatis dan prematur.
Tiga kartu baru yang akan dikeluarkan Presiden Jokowi jika terpilih kembali memang sepintas penuh gula-gula tetapi tak cukup memberdayakan masyarakat. Sebab, program tersebut ibarat memberi “ikan” ketimbang “kain”. Fokus pemerintah seharusnya pada penyediaan lapangan pekerjaan dan pengaturan harga-harga yang terjangkau dari hulunya, bukan memberikan bantuan tunai. Di sisi lain, masyarakat tak cukup menerima bantuan, tetapi juga dalam jangka panjang harus mampu mengaksesnya sendiri dengan upah yang dimiliki.
Jika dilihat lebih detail, maka permasalahan yang muncul dalam program “kartu sakti” Jokowi memang berada di kementerian teknis. Masalah pada implementasi KIP, misalnya, adalah akurasi data yang masih bermasalah sebagaimana temuan ICW. Dan, permasalahan data seharusnya sudah selesai dalam empat tahun pemerintahan Jokowi.
Selain itu, efisiensi distribusi bantuan sebenarnya bisa dilakukan dengan mengintegrasikan kartu-kartu yang telah ada ke dalam satu kartu. Sebab, persyaratan beberapa kartu yang dikeluarkan pemerintah saling beririsan, misalnya Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) dengan PKH, KIP dengan KIP Kuliah, Rastra dengan Kartu Sembako Murah, dan lain-lain.
Lalu KIP Kuliah juga tampaknya akan tumpang tindih dengan bantuan pendidikan di perguruan tinggi seperti program Bidik Misi (jalur prestasi dan tidak mampu) hingga dana pengembangan pendidikan nasional yang dikelola Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Bagaimana merapikan inefisiensi ini?
Mengapa pemerintah kartu-kartu tersebut diintegrasikan saja ke dalam satu kartu? Jika kepala keluarga memegang satu kartu tetapi memiliki banyak fungsi, selain akan efektif, penyaluran dana bantuan sosial pun dapat lebih transparan, terkontrol, dan tepat sasaran. Namun, itu pun pemerintah harus segera menuntaskan perbaikan data lebih dulu.
Kembali ke tiga kartu baru, dalam konteks pilpres, tak bisa dielakan ada sinyalemen sebagai modus Jokowi untuk mengincar suara. KIP Kuliah ditujukan untuk menarik dukungan kalangan milenial dan pemilih pemula, Kartu Sembako Murah untuk menggaet rakyat kelas bawah, dan Kartu Pra-Kerja untuk menyasar kelompok pengangguran lulusan SMK/SMA yang memang jumlahnya cukup besar. Menurut data BPS tahun 2018, angka pengangguran terbuka di Indonesia berjumlah 6,87 juta orang yang didominasi dari lulusan SMK.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel